Oleh: Dzulfadli Tambunan (Ketua Dewan Etik IWO Sibolga-Tapteng)
PASCA bencana hidrometeorologis yang memporak-porandakan Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan, gabungan penyidik yang menjadi ritual pascabencana diturunkan untuk mengungkap penyebab bencana yang terjadi.
Baca Juga:
Di Balik Gelap dan Badai, Dedikasi Tanpa Batas PLN Mengembalikan Cahaya Sumut
Gabungan penyidik yang terdiri dari unsur lintas lembaga ini melakukan investigasi mendalam, terkait temuan lautan gelondongan kayu yang memporak-porandakan 4 desa di Kecamatan Batang Toru.
Bareskrim Polri bersama Satuan Tugas Penegakan Hukum Lingkungan bergerak melakukan penyelidikan dengan memeriksa wilayah hutan rakyat pada titik KM 6–8, Jalan Teluk Nauli, tepatnya di Desa Anggoli, Kecamatan Sibabangun, Tapanuli Tengah.
Ditemukan satu perusahaan yang membuka lahan perkebunan bernama PT Tri Bahtera Srikandi (TBS). Perusahaan yang bergerak pada budi daya kelapa sawit ini dituding menjadi penyebab terjadinya banjir bandang dan longsor.
Baca Juga:
SinyaI Lumpuh, Personel PLN Tempuh Jalur Berbahaya di Sibolga Demi Listrik Menyala
Rakyat terheran-heran saat penyidik mempersangkakan PT TBS penyebab puluhan ribu meter kubik gelondongan kayu yang berserakan disepanjang aliran Sungai Garoga. Penyelidikan di kawasan KM 6–8, Jalan Teluk Nauli, dinilai tidak sepenuhnya membuktikan kompleksitas penyebab banjir bandang dan longsor.
Suatu kekonyolan dan lawak-lawak, jika jenis kayu yang ditemukan di Sungai Garoga menjadi acuan untuk mempersangkakan PT TBS. Fakta lapangan membuktikan, seluruh kebun rakyat yang ada di sekitar kawasan Ekosistem Batang Toru memiliki tanaman yang sama yakni, karet, durian, jengkol, petai, hingga tanaman hutan bernama jorong (longgang).
Citra Satelit dari Sentinel-2 pada 3 Desember 2025, memetakan, 3.964 hektare ekosistem Batang Toru gundul akibat banjir dan longsor. Ekosistem Batang Toru yang terbentang dari Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah hingga Kota Sibolga ini, memiliki 67 anak sungai yang keseluruhannya mengalir ke Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan.
Temuan gelondongan kayu di sungai-sungai, mengindikasikan terjadinya deforestasi ekosistem Batang Toru yang berada di Timur Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah. Ini menegaskan, penyelidikan pada wilayah hilir atau hanya pada satu lokasi tertentu, akan mengaburkan peristiwa yang sesungguhnya.
Ingat! Banjir bandang dan longsor tidak hanya menghantam Kecamatan Batang Toru dan Muara Batang Toru, Tapanuli Selatan, tetapi juga meluluhlantakkan 20 kecamatan yang ada di Tapanuli Tengah. 43 titik bencana di Tapanuli Tengah maupun Tapanuli Selatan membuktikan jika bencana tidak hanya melanda Desa Garoga, Tapanuli Selatan.
Kondisi ini menguatkan kesimpulan bahwa kerusakan hutan di kawasan ekosistem Batang Toru yang menjadi hulu dari sungai-sungai yang mengalir di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah, telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Aparat penegak hukum harus melakukan penyelidikan secara objektif, komprehensif, dan berbasis data ilmiah.
Memenuhi ekpektasi ini, penyidik harus melakukan penyelidikan dari hulu hingga hilir DAS, guna mengurai penyebab struktural banjir bandang. Penyelidikan yang asal-asalan, tidak akan mampu mengungkap fakta yang sesungguhnya. Bahkan berpotensi menimbulkan pertanyaan besar di tengah-tengah masyarakat.
Rakyat juga berharap, penyelidikan yang dilakukan tidak hanya untuk memainkan skenario yang telah dirancang untuk mencari kambing hitam. Bencana yang merenggut nyawa dan merusak kehidupan puluhan ribu orang ini bukanlah peristiwa tunggal, melainkan hasil dari pola eksploitasi yang dibiarkan berlangsung selama puluhan tahun.
Penyidik harus betul-betul lepas dari intervesi "pengusaha hitam" yang selama ini mengeksplorasi hutan secara ugal-ugalan. Ketika bencana melanda, korporasi yang berlindung di balik sertifikat lengkap ini berusaha cuci tangan dan mengkambinghitamkan curah hujan.
Bahkan, sebuah skenario politik hukum yang sistematis sering dimainkan. Fokus penegakan hukum dialihkan kepada pengusaha kecil, petani dan peladang berpindah, atau penambang rakyat tanpa izin. Mereka menjadi korban sekaligus terdakwa dalam drama yang mengaburkan peran pelaku utama.**)
[Redaktur: Hadi Kurniawan]