TAPTENG.WAHANANEWS.CO, Pandan - Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menyoroti skandal dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Tapteng tahun 2021 senilai Rp75,9 miliar.
Pihaknya meminta BPK menangani sekaligus menerbitkan ringkasan hasil pemeriksaan khusus, mengenai dana PEN Tapteng dan melimpahkan ke KPK dan BPKP.
Baca Juga:
Usai Geledah Kantor Bupati Situbondo, KPK Sita Bukti Elektronik-Dokumen
“Kita minta KPK dan BPKP menangani skandal dana PEN Tapteng. Melakukan audit investigatif paralel dan memeriksa pejabat yang terlibat,” kata Iskandar Sitorus dalam siaran pers, Selasa (28/10/2025).
Dia menjelaskan, data resmi satu data pemerintahan dalam negeri (SDPDN) mengungkap fakta mencengangkan. Tapteng menerima pinjaman dana PEN tanpa surat usulan pinjaman maupun surat usulan besaran dana dari kepala daerah.
“Artinya, itu bukan sekadar kelalaian administratif. Ini adalah indikasi kerusakan sistemik tata kelola keuangan negara,” tegas Iskandar.
Baca Juga:
Pembangunan Irigasi Tanah Dangkal di Taput Tak Berfungsi
Menurutnya, pelanggaran ini termasuk penyalahgunaan wewenang dengan akibat kerugian negara potensial, sebab daerah dibebani utang tanpa persetujuan sah.
Padahal, tidak boleh ada ruang abu-abu dalam pinjaman daerah. Semuanya diatur UU nomor 1/2022 tentang hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Kemudian, PP nomor 56/ 2018 tentang pinjaman daerah.
Pasal 3 PMK 105/2021 adalah kunci pengelolaan dana PEN untuk Pemda. Pinjaman daerah diberikan berdasarkan usulan kepala daerah disertai dokumen rencana penggunaan, kemampuan pengembalian, dan persetujuan DPRD.
Namun di Tapteng, tak ada satu pun dokumen itu, tetapi dana tetap cair. Ironisnya lagi, tidak ada lembaga pusat yang memberi peringatan atau menghentikan pencairan.
Dengan demikian, pencairan Rp75,9 miliar tersebut cacat formil dan melanggar hukum keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 16 UU nomor 17/2003, tentang Keuangan Negara.
Iskandar Sitorus mengungkap, selama satu dekade Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI terhadap Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah menunjukkan satu pola yang konsisten. Pelanggaran dibiarkan, rekomendasi diabaikan, dan sistem pengawasan tidak pernah benar-benar berfungsi.
“Pola inilah yang akhirnya menciptakan lingkungan ideal bagi pencairan dana PEN Rp75,9 miliar tanpa dasar hukum yang sah,” ungkapnya.
Dituturkannya, pada 2014-2016, BPK sudah berulang kali mencatat kelemahan serius dalam Sistem Pengendalian Intern (SPI), dan penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
Rekomendasi BPK jelas menyebut, perbaiki sistem dan tindak tegas pelanggaran. Namun, tidak ada tindakan nyata. Dari sini, budaya pengabaian prosedur mulai mengakar, itu menjadi cikal bakal manipulasi administrasi yang kini menjerat Pemda Tapteng.
Memasuki 2017, masalah bergeser dari pengendalian ke pencatatan aset. BPK menemukan aset daerah yang tidak tertelusur dan tidak tercatat secara lengkap.
"Rekomendasinya sederhana, lakukan inventarisasi dan validasi ulang. Tetapi hingga kini, sebagian besar belum tertib. Akibatnya, ketika dana PEN mengalir, risiko pengelolaan tanpa pencatatan yang benar menjadi sangat besar," cecarnya.
Masih kata Iskandar, tahun 2018 menegaskan pola lama, yakni belanja proyek fisik tidak sesuai dengan peruntukan. BPK meminta penertiban realisasi dan sinkronisasi antara perencanaan dan pelaksanaan.
Namun, praktik belanja di luar ketentuan tetap berjalan. Di titik ini, Tapteng sudah terbiasa dengan penyimpangan penggunaan dana publik.
Pada tahun 2019, BPK kembali menyoroti keterlambatan penyampaian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan pencatatan utang yang tidak akurat. Rekomendasi BPK meminta disiplin pelaporan dan penguatan sistem keuangan daerah. Lagi-lagi diabaikan.
Akibatnya, akuntabilitas pinjaman dan pengelolaan utang menjadi semakin kabur, membuka celah besar bagi manipulasi seperti kasus PEN.
Kemudian pada 2020, pelanggaran pun naik kelas. BPK menemukan proyek tahun jamak yang dijalankan tanpa Perda, sebuah pelanggaran langsung terhadap PP 12/2019 tentang pengelolaan keuangan daerah.
Padahal, BPK telah meminta agar semua proyek tahun jamak disesuaikan dengan ketentuan hukum, tetapi Pemda Tapteng tidak menunjukkan perubahan signifikan.
“Dari sinilah muncul pembiasaan melanggar aturan di level tinggi, yang kelak menular ke pelaksanaan pinjaman PEN,” imbuhnya.
Iskandar menjelaskan, LHP tahun 2021 menjadi titik krusial. BPK mencatat pengelolaan utang daerah yang tidak transparan serta kelemahan dalam pencatatan dan pelaporan kewajiban daerah.
BPK sudah menegaskan perlunya perbaikan tata kelola utang dan peningkatan transparansi. Namun rekomendasi ini tidak dijalankan secara serius.
Kondisi tersebut menciptakan “lahan subur” bagi pencairan dana PEN tanpa dokumen formal, karena sistem keuangan daerah sudah terbiasa longgar terhadap kewajiban administratif.
Akhirnya, pada periode 2022–2023, BPK menyoroti hal paling fatal, yaitu rekomendasi-rekomendasi lama belum ditindaklanjuti secara maksimal.
Artinya, selama hampir sepuluh tahun, peringatan BPK diabaikan begitu saja. Akibatnya, pengawasan internal melalui Inspektorat dan pengawasan eksternal melalui DPRD benar-benar kolaps.
Tidak ada mekanisme kontrol yang efektif, sehingga pelanggaran besar seperti pencairan Dana PEN tanpa surat usulan bisa lolos tanpa peringatan sedikit pun.
Pola tersebut memperlihatkan bahwa skandal dana PEN Tapteng bukan peristiwa kebetulan, melainkan hasil dari busuknya tata kelola yang bertahun-tahun dibiarkan.
“Mulai SPI yang lemah, aset tak tertelusur, hingga rekomendasi audit diabaikan, semuanya membentuk jalan panjang menuju satu kesimpulan pahit yaitu, matinya pengawasan sebelum hukum ditegakkan,” timpalnya.
Selama satu dekade, pola pelanggaran administratif dan lemahnya tindak lanjut audit membentuk lingkungan permisif, tempat pelanggaran bisa terjadi tanpa peringatan.
Maka ketika dana PEN cair tanpa dokumen, sistem birokrasi daerah tak lagi bereaksi, karena menjadi sudah terbiasa.
Iskandar menilai, kasus ini berpotensi menembus batas administratif menuju ranah pidana. Salah satunya, terjadi penyalahgunaan wewenang sesuai Pasal 3 UU Tipikor.
Dimana pejabat di Pemda maupun Kemenkeu yang memproses pencairan tanpa dokumen telah menggunakan kewenangannya secara melawan hukum dan berpotensi merugikan keuangan Negara.
Kemudian, perusakan sistem keuangan negara, karena jika satu daerah bisa menerima pinjaman tanpa usulan, maka seluruh sistem e-Pinjam Daerah dan SDPDN kehilangan kredibilitas sebagai instrumen kontrol keuangan negara.
Selanjutnya, pengawasan internal inspektorat dan DPRD Tapteng yang gagal menjalankan fungsi. LHP BPK berulang kali memperingatkan, tapi rekomendasinya diabaikan.
“Ketika rekomendasi audit diabaikan bertahun-tahun, bukan lagi salah sistem, itu pembiaran yang disengaja,” ucapnya.
Indonesia Audit Watch menilai, skandal dana PEN Tapteng adalah alarm keras bagi negara hukum. Uang negara sebesar Rp75,9 miliar tidak bisa cair begitu saja tanpa jejak administratif.
Oleh karena itu, Iskandar meminta Presiden Prabowo Subianto menjadikan skandal dana PEN Tapteng sebagai test case integritas fiskal nasional, perintahkan integrasi penuh sistem pinjaman daerah agar mustahil dimanipulasi.
[Redaktur: Dzulfadli Tambunan]