Keputusan yang didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan itu, menjadi formula jitu menghindari konflik horizontal yang kemungkinan terjadi antara masyarakat Aceh dan Sumatera Utara, khususnya masyarakat Kabupaten Tapanuli Tengah dengan masyarakat Aceh Singkil.
"Terima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto. Keputusan beliau telah mencegah eskalasi masalah tidak membesar," kata Madayansyah.
Baca Juga:
Misteri Tanda Tangan Ponirah di Simolap, Siapa Pelakunya?
Tanpa berhitung siapa yang lebih berhak, politikus Partai Gerindra yang pernah digodok di lembah Gunung Sorik Marapi, Mandailing Nantal ini menegaskan, akta kepemilikan tidak lebih utama dari dua kata sakral bernama "perdamaian" dan "keadilan".
Konon lagi sambung Madayansyah, masyarakat Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah memiliki hubungan sosial dan budaya yang erat.
Meskipun terdapat perbedaan latar belakang etnis dan budaya, kedua kabupaten ini saling berinteraksi dan terhubung melalui berbagai aspek kehidupan, termasuk perdagangan, perkawinan, budaya, dan kegiatan sosial lainnya.
Baca Juga:
Prabowo Kembalikan Empat Pulau: GAM Bersorak, Warga Aceh Gegap Gempita
Interaksi ini telah membentuk hubungan yang harmonis dan saling melengkapi sejak jaman nenek moyang.
"Perdamaian dan kedamaian lebih penting dari satu lembar sertipikat kepemilikan berkedok administrasi," tegas Madayansyah.
Sabagaimana diketahui, sengketa kepemilikan empat pulau yang diperebutkan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) akhirnya tuntas. Pemerintah pusat memutuskan bahwa Aceh pemilik sah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Mangkir Gadang.