Tapteng.WahanaNews.co, Tapsel - Muhammad Rasoki (33), merupakan salah seorang nelayan tradisional yang menangkap ikan di sungai Batangtoru, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel). Ia telah menekuni profesi tersebut puluhan tahun. Menyekolahkan anak-anak hingga ke jenjang tertinggi, menjadi motivasi ayah tiga anak ini.
Pria lulusan SMA ini menjadi nelayan bukanlah secara kebetulan. Ia meneruskan profesi orangtuanya yang dulunya juga sebagai penangkap ikan tradisional di sungai Batangtoru. Awal mulanya ia hanya diajak, hingga akhirnya jatuh cinta dengan pekerjaan itu.
Baca Juga:
Akhir Sebuah Perantau, Cerita Pilu WNI Meninggal di Malaysia dan Dimakamkan di Tapteng
"Sudah lama, dari orangtua dulu juga penangkap ikan, yang akhirnya turun ke saya. Mungkin sudah 20 tahun," kata
Muhammad Rasoki, saat dijumpai di pinggiran sungai Batangtoru, beberapa waktu lalu.
Dituturkannya, hasil tangkapan ikan berupa, lelan, hampala, garing, gurame dan udang, dipasok ke salah satu rumah makan di daerah Parsariran, dimana orangtuanya dulu menjual ikan. Hasil penjualan dipergunakan untuk menutupi kebutuhan pokok rumah tangga dan biaya sekolah anak-anak.
"Bisa sekali sehari, bisa sekali dua hari. Hasil tangkapan tidak menentu, kadang 3 kg, kadang 4 kg, kadang mau juga 10 kg, tergantung rezeki," sambungnya.
Baca Juga:
7 Rekomendasi Film Bermakna Kehidupan, Bisa Jadi Penyemangat Diri
Saat dipertanyakan faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan, suami dari wanita yang membuka warung kopi ini menyebutkan, banyak tidaknya nelayan lain yang menangkap ikan dan besar tidaknya air sungai, menjadi faktor penentu.
"Banyak orang sini cari ikan. Siapa yang duluan, dia lebih banyak dapat. Sungai yang besar juga menjadi faktor penentu," jawab pria yang memilih menangkap ikan dari sore hingga malam hari ini.
Terkait sungai Batangtoru yang kini telah menjadi pembuangan limbah PT Agincourt Resources, pengelola Tambang Emas Martabe, Muhammad Rasoki mengaku jika limbah yang dialirkan ke sungai tidak mempengaruhi habitat dan keberlangsungan hidup hewan air.
"Dari jaman orangtua saya hasilnya tetap sebegini-begini. Ikannya juga tidak berkurang dan tetap segar. Kualitasnya juga sama seperti dulu. Ini membuktikan ekositem sungai masih tetap baik dan terjaga," aku pria yang akrab disapa Oki ini.
Menurutnya, jika aktivitas pembuangan limbah Tambang Emas Marrabe sungai Batangtoru mempengaruhi keberlansungan hidup dan perkembangbiakan ikan, nelayan tidak akan mendapat hasil, dan pastinya akan beralih profesi. Namun kenyataannya, hingga saat ini nelayan tradisional masih tetap nyaman dengan pekerjaan tersebut.
Hasil tangkapan ikan tidak menurun, tetap cukup menutupi kebutuhan rumah tangga serta biaya sekolah anak-anak. Harga ikan sungai yang saat ini di banderol Rp25 ribu hingga Rp40 ribu per kg, memastikan nelayan tradisional berpenghasilan minimal Rp1,5 juta per bulannya.
Walau merasa nyaman sebagai nelayan tradisional, Muhammad Rasoki tidak berkeinginan mewariskan profesi tersebut kepada anak-anaknya. Ia berharap, anak-anaknya sukses dengan melakoni profesi lain.
"Ngak lah. Ini banyak tantangannya. Kalau air besar bisa hanyut. Saya pernah hanyut tiga kali, selamat ditolong warga," pungkasnya sambil tersenyum.
Bukanlah sebuah omong kosong jika sungai Batangtoru masih tetap menjadi lahan empuk untuk mengais rezeki,bagi nelayan tradisional seperti Muhammad Rasoki. Walaupun sisa air proses
Tambang Emas Matangtoru dialirkan ke sungai Batangtoru, tetap tidak mempengaruhi ekosistem sungai.
Total Suspendet Solid (TSS) atau tingkat kekeruhan air sisa proses Tambang Emas Martabe 5,9 NTU. Sedang pH air sisa proses Tambang Emas Martabe 7,06. Artinya kekeruhan air air sisa proses Tambang Emas Martabe jauh dari standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah maksimal 200.
"Baku mutu kualitas air sisa proses Tambang Emas Batang Toru sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021," ujar Prof Dr Ing Ternala Alexander Barus, Guru Besar Departemen Biologi yang juga peneliti lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU).
[Redaktur : Hadi Kurniawan]