Oleh: Masriadi Pasaribu SH (Ketua Dewan Penasehat Gabema Sibolga-Tapteng)						
					
						
						
							PERISTIWA tragis yang merenggut nyawa Arjuna Tamaraya, seorang mahasiswa berusia 21 tahun di Sibolga, bukan sekadar tindak pidana pengeroyokan.						
					
						
							
								
								
									Baca Juga:
									Suami Istri Tewas di Desa Bungku, Ini Penjelasan Polisi
								
								
									
										
	
									
								
							
						
						
							Ia adalah potret buram tentang bagaimana kekerasan kini begitu mudah meledak di tengah masyarakat, bahkan di tempat yang seharusnya menjadi ruang suci, rumah ibadah.						
					
						
						
							Masjid, sebagaimana rumah ibadah lainnya, adalah simbol perdamaian, keteduhan, dan tempat manusia menundukkan diri kepada Tuhan.						
					
						
						
							Ketika darah tumpah di pelatarannya, nurani publik terguncang. Kita dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan kesucian ruang publik bisa lenyap oleh amarah yang tak terkendali.						
					
						
							
								
								
									Baca Juga:
									Sebut Perdebatan Ijazah Tak Relevan, Luhut: yang Penting Kontribusi Nyata
								
								
									
	
								
							
						
						
							Kekerasan seperti ini tak lahir begitu saja. Ia tumbuh dari budaya saling curiga, dari hilangnya rasa hormat terhadap hidup orang lain, dan dari lemahnya penegakan hukum yang sering kali membuat pelaku merasa kebal.						
					
						
						
							Padahal, setiap tindakan main hakim sendiri adalah bentuk penistaan terhadap hukum dan nilai kemanusiaan.						
					
						
						
							Negara tidak boleh diam. Aparat penegak hukum harus bergerak cepat, tidak hanya menangkap pelaku, tetapi juga menyingkap motif dan memastikan tidak ada satu pun yang bersembunyi di balik impunitas.