Oleh : Dzulfadli Tambunan
PEMERINTAH Kabupaten (Pemkab) Tapanuli Tengah (Tapteng) menghadapi tantangan fiskal serius dengan belanja pegawai yang mencapai 51,27 persen, dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Baca Juga:
Pemkab Tapteng Siap Bersinergi dengan Bea Cukai Sibolga Berantas Rokok Ilegal
Dalam pemaparan proyeksi APBD Tapteng tahun 2026 dan realisasi APBD 2025, Rabu (5/11/2025), belanja pegawai untuk tahun 2025 mencapai Rp528.542.438.969. Sementara transfer pusat yang diterima hanya mencapai Rp1,057,699,129,000.
Seiring dengan akan dikeluarkannya SK PPPK paruh waktu dan penetapan Nomor Induk (NI), belanja pegawai dipastikan akan semakin membengkak pada tahun 2026,
Rasio belanja pegawai terhadap total APBD yang mencapai 50 persen itu cukup tinggi. Fenomena ini menjadi kendala dalam pembiayaan pembangunan daerah secara keseluruhan. Ruang fiskal akan terbatasi untuk membiayai program-program strategis dan pembangunan infrastruktur.
Baca Juga:
BPBD dan Satpol PP Tapteng Berhasil Padamkan Karhutla di Sitahuis
Walau bukan persoalan baru, kondisi ini menjadi masalah serius yang dihadapi Pemkab Tapteng. Duet Masinton Pasaribu-Mahmud Efendi, harus berpikir keras dalam menyusun penganggaran belanja pegawai ke depan.
Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), tentang Pembatasan Belanja Pegawai yang maksimal hanya 30 persen dari APBD, menghadirkan tantangan besar kepada Masinton-Mahmud.
Beban belanja pegawai yang mencapai 51,27 persen dan APBD Tapteng tahun 2026 yang akan mengalami koreksi Rp205 miliar, bisa membuat Pemkab Tapteng kolaps. Belanja pegawai yang mencapai 50 persen dari APBD sangat berisiko tinggi, dan dapat mengarah pada tekanan fiskal yang serius.
Meski dalam praktiknya tidak akan mudah, perubahan harus dilakukan. Berbagai strategi harus disiapkan, mulai dari reformasi birokrasi hingga peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Beleid ini bisa membuka ruang fiskal yang lebih luas bagi Pemkab Tapteng.
Reformasi birokrasi perlu menyasar sistem. Selain SDM, aspek lain yang harus disasar adalah kegiatan seremoni. Intinya, Pemkab Tapteng harus menyiapkan proses perencanaan, melakukan road map untuk memikirkan apa-apa yang bisa diefisiensikan.
Di sisi sumber daya, banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan keuangan Pemkab Tapteng yang sudah dalam posisi bangkrut. Seluruh OPD harus kreatif mencari dan mengoptimalkan potensi untuk menambah Pendapatan Asli Daerah.
Jika kita mau jujur, dengan potensi sumber daya Tapteng yang melimpah, hal yang sangat memprihatinkan jika PAD Tapteng hanya pada kisaran Rp82.805.769.000. Dimungkinkan, kondisi ini terjadi akibat banyaknya lobang misterius yang membuat PAD bocor.
Banyak PAD Tapteng tidak terkumpul optimal yang disinyalir akibat berbagai masalah seperti, pungutan liar, pengelolaan yang tidak transparan, atau sistem yang tidak terintegras. Mengikis semua ini, diperlukan kombinasi strategi yang berfokus pada modernisasi administrasi, pengawasan ketat, dan transparansi.
Jangan coba-coba menaikkan pajak bumi dan bangunan. Formula ini akan menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat. Spanduk dan poster dipastikan akan terbentang luas. Warga akan mendatangi kantor bupati menuntut kebijakan tersebut dibatalkan. Atau mau menjadi Pati kedua?
Bagi rakyat, rasionalitas fiskal tak sebanding dengan rasa kehilangan kendali atas hidup yang makin mahal. Jangan sampai masyarakat merasa jika pajak bukan lagi sekadar kewajiban, tapi menjadi sebuah ancaman.
Walau bukan dosa Masinton-Mahmud, keadaan ini menjadi ujian berat untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Kombinasi strategi yang berfokus pada peningkatan pendapatan, efisiensi belanja, dan tata kelola keuangan yang baik, harga mati yang harus diterapkan.
Tapteng harus bangkit dengan bekerja cerdas dan inovatif dalam mencari pendapatan tambahan. Selain memaksimalkan sumber daya, pos yang dinilai boros, tidak akuntabel, bahkan rawan penyimpangan harus dikurangi. Kegiatan yang sifatnya rutin dan kurang strategis seperti, rapat, perjalanan dinas, hingga makan dan minum wajib ditekan.
Ayo menolak "failit". Inilah saatnya Masinton-Mahmud mengubah sejarah Tapteng yang kurun 8 dekade ketergantungan dengan transfer pusat. Ingat!! Jargon "Tapteng Naik Kelas" jangan hanya sekedar lelucon minggu siang yang menggelitikkan hati. **)
[Redaktur: Hadi Kurniawan]