“Tentu ini sudah memenuhi unsur Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat merugikan keuangan negara,” katanya.
Iskandar Sitorus mengungkap, proyek mangkrak Rp69,9 miliar berakar pada kultur birokrasi yang permisif terhadap pelanggaran keuangan. Inspektorat, TAPD, dan DPRD, seolah mati fungsi, karena tidak menjalankan kontrol sebagaimana diamanatkan PP dan Permendagri.
Baca Juga:
Ketua BPKN Sebut PPATK Langgar 5 UU soal Pemblokiran Rekening Dormant
Dalam Permendagri 77/2020 sebagai turunan langsung PP 12/2019 sudah sangat jelas memuat bahwa semua kegiatan tahun jamak wajib Perda khusus.
Kemudian, penganggarannya wajib disetujui bersama kepala daerah dan DPRD. Dan pembayaran hanya dapat dilakukan berdasarkan dokumen resmi (DPA, SPD, SPM).
Namun, dalam kasus Tapteng, mekanisme ini dilanggar terang-terangan. Pelanggaran ini bukan hanya pidana korupsi, tetapi juga pelanggaran administratif berat.
Baca Juga:
Pemkab Padang Pariaman Jalin Kerjasama dengan Kejari Antisipasi Pelanggaran Hukum Pengadaan
Pejabat yang menandatangani Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) tanpa dasar hukum sah dapat dimintai pertanggungjawaban pribadi (ganti rugi, berdasarkan UU Keuangan Negara.
“Artinya, tanggung jawab hukum harus diminta kepada seluruh pejabat penandatangan dokumen anggaran yang cacat hukum,” ucapnya.
Kejati Sumatra Utara (Sumut) kini memiliki momen krusial untuk membuktikan bahwa penegakan hukum berbasis audit bukan sekadar “penindakan individu”, tetapi pemulihan sistemik keuangan negara.