Maka Kejati Sumut diminta mengusut seluruh kontrak multiyears 2020-2022 di Tapteng yang tidak memiliki dasar Perda. Kemudian menelusuri pejabat penandatangan dokumen anggaran dan memproses hukum mereka berdasarkan tanggung jawab jabatan.
Iskandar menegaskan, Kejati Sumut bisa menerapkan pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor, jika ditemukan indikasi aliran dana atau pihak yang memperkaya diri. Menetapkan status kerugian negara dari proyek gedung mangkrak dan menyusun rencana penyelamatan aset.
Baca Juga:
Ketua BPKN Sebut PPATK Langgar 5 UU soal Pemblokiran Rekening Dormant
Selanjutnya, mempublikasikan hasil penyidikan dan penuntutan agar publik tahu sejauh mana uang rakyat diselamatkan. Langkah ini akan memperkuat kepercayaan publik dan menjadi tolok ukur transparansi penegakan hukum keuangan daerah.
“Keadilan bukan sekadar hukuman, tapi transparansi dan pemulihan. Keadilan bagi publik bukan hanya melihat pelaku dipenjara, tapi melihat uang negara kembali, sistem diperbaiki, dan pejabat jujur dilindungi,” rimpalnya.
Dalam kasus ini, Iskandar mengimbau Kejati Sumut agar transparan, dengan menyampaikan tahapan penyidikan, tindak lanjut audit, dan proses pemulihan aset. Transparansi bukan ancaman bagi institusi hukum, tapi justru benteng kepercayaan publik.
Baca Juga:
Pemkab Padang Pariaman Jalin Kerjasama dengan Kejari Antisipasi Pelanggaran Hukum Pengadaan
“Keadilan tidak lahir dari vonis, tapi dari keberanian membuka seluruh fakta. Dan publik berhak tahu siapa yang bertanggung jawab atas setiap rupiah uang rakyat yang hilang,” sambungnya.
Masih kata Iskandar, kasus Tapteng adalah cermin nasional tentang bagaimana pelanggaran keuangan daerah bukan akibat ketidaktahuan, melainkan akibat keberanian menabrak aturan.
Menurutnya, jika Kejati Sumut menuntaskan kasus ini dengan tegas, maka Sumut akan menjadi benchmark nasional penegakan hukum berbasis audit dan akuntabilitas.