"Dari jaman orangtua saya hasilnya tetap sebegini-begini. Ikannya juga tidak berkurang dan tetap segar. Kualitasnya juga sama seperti dulu. Ini membuktikan ekositem sungai masih tetap baik dan terjaga," aku pria yang akrab disapa Oki ini.
Menurutnya, jika aktivitas pembuangan limbah Tambang Emas Marrabe sungai Batangtoru mempengaruhi keberlansungan hidup dan perkembangbiakan ikan, nelayan tidak akan mendapat hasil, dan pastinya akan beralih profesi. Namun kenyataannya, hingga saat ini nelayan tradisional masih tetap nyaman dengan pekerjaan tersebut.
Baca Juga:
Akhir Sebuah Perantau, Cerita Pilu WNI Meninggal di Malaysia dan Dimakamkan di Tapteng
Hasil tangkapan ikan tidak menurun, tetap cukup menutupi kebutuhan rumah tangga serta biaya sekolah anak-anak. Harga ikan sungai yang saat ini di banderol Rp25 ribu hingga Rp40 ribu per kg, memastikan nelayan tradisional berpenghasilan minimal Rp1,5 juta per bulannya.
Walau merasa nyaman sebagai nelayan tradisional, Muhammad Rasoki tidak berkeinginan mewariskan profesi tersebut kepada anak-anaknya. Ia berharap, anak-anaknya sukses dengan melakoni profesi lain.
"Ngak lah. Ini banyak tantangannya. Kalau air besar bisa hanyut. Saya pernah hanyut tiga kali, selamat ditolong warga," pungkasnya sambil tersenyum.
Baca Juga:
7 Rekomendasi Film Bermakna Kehidupan, Bisa Jadi Penyemangat Diri
Bukanlah sebuah omong kosong jika sungai Batangtoru masih tetap menjadi lahan empuk untuk mengais rezeki,bagi nelayan tradisional seperti Muhammad Rasoki. Walaupun sisa air proses
Tambang Emas Matangtoru dialirkan ke sungai Batangtoru, tetap tidak mempengaruhi ekosistem sungai.
Total Suspendet Solid (TSS) atau tingkat kekeruhan air sisa proses Tambang Emas Martabe 5,9 NTU. Sedang pH air sisa proses Tambang Emas Martabe 7,06. Artinya kekeruhan air air sisa proses Tambang Emas Martabe jauh dari standar baku mutu yang ditetapkan pemerintah maksimal 200.
"Baku mutu kualitas air sisa proses Tambang Emas Batang Toru sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021," ujar Prof Dr Ing Ternala Alexander Barus, Guru Besar Departemen Biologi yang juga peneliti lingkungan Universitas Sumatera Utara (USU).