Namun di Tapteng, tak ada satu pun dokumen itu, tetapi dana tetap cair. Ironisnya lagi, tidak ada lembaga pusat yang memberi peringatan atau menghentikan pencairan.
Dengan demikian, pencairan Rp75,9 miliar tersebut cacat formil dan melanggar hukum keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 16 UU nomor 17/2003, tentang Keuangan Negara.
Baca Juga:
Usai Geledah Kantor Bupati Situbondo, KPK Sita Bukti Elektronik-Dokumen
Iskandar Sitorus mengungkap, selama satu dekade Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI terhadap Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah menunjukkan satu pola yang konsisten. Pelanggaran dibiarkan, rekomendasi diabaikan, dan sistem pengawasan tidak pernah benar-benar berfungsi.
“Pola inilah yang akhirnya menciptakan lingkungan ideal bagi pencairan dana PEN Rp75,9 miliar tanpa dasar hukum yang sah,” ungkapnya.
Dituturkannya, pada 2014-2016, BPK sudah berulang kali mencatat kelemahan serius dalam Sistem Pengendalian Intern (SPI), dan penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
Baca Juga:
Pembangunan Irigasi Tanah Dangkal di Taput Tak Berfungsi
Rekomendasi BPK jelas menyebut, perbaiki sistem dan tindak tegas pelanggaran. Namun, tidak ada tindakan nyata. Dari sini, budaya pengabaian prosedur mulai mengakar, itu menjadi cikal bakal manipulasi administrasi yang kini menjerat Pemda Tapteng.
Memasuki 2017, masalah bergeser dari pengendalian ke pencatatan aset. BPK menemukan aset daerah yang tidak tertelusur dan tidak tercatat secara lengkap.
"Rekomendasinya sederhana, lakukan inventarisasi dan validasi ulang. Tetapi hingga kini, sebagian besar belum tertib. Akibatnya, ketika dana PEN mengalir, risiko pengelolaan tanpa pencatatan yang benar menjadi sangat besar," cecarnya.