Masih kata Iskandar, tahun 2018 menegaskan pola lama, yakni belanja proyek fisik tidak sesuai dengan peruntukan. BPK meminta penertiban realisasi dan sinkronisasi antara perencanaan dan pelaksanaan.
Namun, praktik belanja di luar ketentuan tetap berjalan. Di titik ini, Tapteng sudah terbiasa dengan penyimpangan penggunaan dana publik.
Baca Juga:
Usai Geledah Kantor Bupati Situbondo, KPK Sita Bukti Elektronik-Dokumen
Pada tahun 2019, BPK kembali menyoroti keterlambatan penyampaian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan pencatatan utang yang tidak akurat. Rekomendasi BPK meminta disiplin pelaporan dan penguatan sistem keuangan daerah. Lagi-lagi diabaikan.
Akibatnya, akuntabilitas pinjaman dan pengelolaan utang menjadi semakin kabur, membuka celah besar bagi manipulasi seperti kasus PEN.
Kemudian pada 2020, pelanggaran pun naik kelas. BPK menemukan proyek tahun jamak yang dijalankan tanpa Perda, sebuah pelanggaran langsung terhadap PP 12/2019 tentang pengelolaan keuangan daerah.
Baca Juga:
Pembangunan Irigasi Tanah Dangkal di Taput Tak Berfungsi
Padahal, BPK telah meminta agar semua proyek tahun jamak disesuaikan dengan ketentuan hukum, tetapi Pemda Tapteng tidak menunjukkan perubahan signifikan.
“Dari sinilah muncul pembiasaan melanggar aturan di level tinggi, yang kelak menular ke pelaksanaan pinjaman PEN,” imbuhnya.
Iskandar menjelaskan, LHP tahun 2021 menjadi titik krusial. BPK mencatat pengelolaan utang daerah yang tidak transparan serta kelemahan dalam pencatatan dan pelaporan kewajiban daerah.